Bisakah Indonesia terus mengurangi deforestasi yang didorong oleh minyak kelapa sawit?
Penelitian terbaru dari Trase menunjukkan Indonesia telah mencapai pengurangan deforestasi secara drastis yang terkait dengan produksi minyak kelapa sawit. Tetapi, dibutuhkan langkah lebih lanjut untuk melanjutkan kemajuan mengingat Tiongkok terus menambah pasokan minyak kelapa sawit dengan risiko deforestasi yang lebih tinggi.
Photo credit: Workers harvesting palm fruit in Indonesia // First Resources, Shutterstock
Pada September, Trase mengadakan webinar untuk menyampaikan hasil temuannya terkait penilaian terbaru tentang keterkaitan antara deforestasi di Indonesia dan produksi dan ekspor minyak kelapa sawit, komoditas yang digunakan di seluruh dunia dalam berbagai produk makanan, rumah, dan perawatan diri.
Data terbaru, yang mencakup periode 2018–2020, menunjukkan adanya 82% pengurangan deforestasi selama satu dekade terakhir meskipun terdapat peningkatan produksi minyak kelapa sawit.
Para peserta webinar mendengar bahwa Indonesia telah mencapai pengurangan melalui penerapan komitmen antideforestasi (zero-deforestation commitments [ZDC]) dan pelaporan rantai pasok publik. Meskipun banyak perusahaan minyak kelapa sawit di Indonesia telah lama memiliki ZDC, bukti yang menunjukkan adanya pengurangan deforestasi pada beberapa perusahaan tersebut masih sedikit.
Data terbaru menunjukkan bahwa eksportir dengan ZDC memiliki 70% risiko deforestasi per ton minyak kelapa sawit daripada perusahaan tanpa ZDC. Tiga perempat dari semua ekspor minyak kelapa sawit diperdagangkan oleh perusahaan yang mematuhi standar ini.
“Ini hasil yang sangat penting karena menggambarkan bukti jelas pertama dari keterkaitan antara komitmen antideforestasi dan laju deforestasi yang lebih rendah di lapangan,” ungkap Dr. Heilmayr. “Indonesia benar-benar terdepan dalam menerapkan standar ini dengan cara yang sepenuhnya berbeda dari komoditas lainnya yang memiliki tingkat deforestasi tinggi yang diperdagangkan secara global.”
Pasar yang bertumbuh pesat mengambil minyak kelapa sawit dengan risiko deforestasi yang lebih tinggi
Meski demikian, analisis Trase menunjukkan adanya pembagian di pasar. Tiongkok menjadi pengimpor terbesar minyak kelapa sawit Indonesia, yang menyumbang 16% ekspor pada 2020 bersama India yang mencatatkan porsi sama. Penggunaan minyak kelapa sawit domestik di Indonesia juga meningkat produksinya dari 32% pada 2018 ke 40% pada 2020.
Analisis Trase menunjukkan bahwa Indonesia, Tiongkok, dan India memperoleh minyak kelapa sawit dari rantai pasok dengan tingkat risiko deforestasi per ton 2,4 kali lebih tinggi dari minyak kelapa sawit untuk ekspor ke Uni Eropa. Ini berarti bahwa Indonesia, Tiongkok, dan India secara keseluruhan menyumbang sebesar 61% dari semua risiko deforestasi Indonesia.
Beberapa pemasok minyak kelapa sawit yang lebih kecil, termasuk KPN Corp, Astra Agro Lestari, dan Citra Borneo Indah, tumbuh dengan cepat melalui ekspor yang kurang dari 5% ke 10% lebih pada 2018–2020 dengan cara memasok ke Tiongkok dan India. Meski demikian, mereka tidak sepenuhnya menerapkan ZDC dengan pelaporan keterlacakan publik serta memiliki risiko deforestasi 1,7 kali lebih tinggi dari rata-rata.
Dibutuhkan langkah baru untuk memastikan kemajuan
Menurut Trase, meski terdapat pengurangan keseluruhan dalam pembukaan lahan, deforestasi yang didorong perkebunan kelapa sawit terus terjadi dengan laju 45.285 hektare per tahun pada 2018–2020. Dua pertiga dari kejadian ini berlangsung di Pulau Kalimantan, Indonesia. Terdapat peningkatan risiko deforestasi yang mengkhawatirkan di Provinsi Papua, yang berasal dari kenaikan produksi minyak kelapa sawit hampir dua kali lipat di wilayah ini pada 2018–2020.
“Hutan Indonesia belum terlepas dari bahaya; 2,4 juta hektare hutan yang utuh berada di dalam area konsesi milik perusahaan minyak kelapa sawit yang saat ini ada,” ungkap Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga. “Area yang kaya hutan di Kalimantan, Papua, Aceh, dan Sulawesi akan menghadapi tekanan jika produksi meningkat, terutama jika pabrik pengolahan baru dibangun di area dengan lebih sedikit pabrik saat ini.”
Timer menyebutkan tidak ada perlindungan sah untuk hutan-hutan ini. Hutan-hutan ini memang sering dianggap sebagai “area telantar” yang dapat dibuka untuk perkebunan. Dia pun mendesak Pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan insentif keuangan untuk pemerintah daerah, perusahaan minyak kelapa sawit, dan masyarakat, termasuk petani kecil, untuk melindungi hutan-hutan ini.
Jajak pendapat dari para peserta webinar tentang langkah tambahan apa yang dibutuhkan untuk melanjutkan kemajuan menuju nol deforestasi mendapati bahwa hampir sepertiga mendukung penerapan insentif untuk melindungi hutan. Hanya lebih dari dua perlima peserta yang menganggap bahwa dibutuhkan langkah dari sisi permintaan dari Tiongkok dan India, sebagaimana Uni Eropa telah mengusulkan melalui peraturannya untuk melarang impor komoditas yang diproduksi di lahan yang dideforestasi.
“Data menunjukkan bahwa sinyal pasar yang jelas dari undang-undang sisi permintaan Uni Eropa dan ZDC dikaitkan dengan pengurangan dalam intensitas deforestasi,” ungkap Helen Bellfield, Deputi Direktur Trase, “tetapi hal ini masih menyisakan pertanyaan terkait insentif apa yang akan diterapkan Uni Eropa melalui peraturannya.” Dia menyebutkan bahwa Uni Eropa seharusnya mendukung kemitraan untuk memperkuat standar nasional Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), serta inisiatif lokal yang memperkuat kebijakan dan mendukung inklusi petani kecil.
Baca Penjelasan hasil temuan utama: Indonesia membuat kemajuan menuju minyak kelapa sawit antideforestasi
Daftar untuk menerima berita dan analisis terbaru dari Trase
Tonton rekaman webinar Trase: Bisakah Indonesia mencapai produksi minyak kelapa sawit yang bebas deforestasi?
Was this article useful?