Explainer

Pemetaan rantai pasok udang di Indonesia

25 Jul 2023
4 min read

Perdagangan didominasi oleh segelintir perusahaan yang melakukan ekspor terutama ke AS dan Jepang.

Mangrove in Nusa Lembongan island, Bali, Indonesia

Photo credit: Mangrove in Nusa Lembongan island, Bali, Indonesia. Credit: Daboost

Produksi tambak udang di Indonesia telah meningkat, dimana pada tahun 2000 hanya 150.000 ton meningkat pada tahun 2021 menjadi hampir satu juta ton. Pertumbuhan yang sangat besar ini dimungkinkan oleh kondisi akuakultur yang sangat baik karena garis pantai Indonesia yang panjang dan iklim tropis, serta dukungan pemerintah yang signifikan. Namun demikian, tambak udang menghadapi tantangan keberlanjutan lingkungan, terutama soal konversi hutan bakau menjadi tambak ikan.

Udang yang dibudidayakan sebenarnya hampir seluruhnya adalah udang besar (prawn), dengan dua spesies utamanya udang windu dan udang kaki putih. Istilah 'udang (shrimp)' dan 'udang besar (prawn)' digunakan secara bergantian untuk produk yang sama di berbagai wilayah, sementara istilah udang (shrimp) lebih banyak digunakan di AS.

Pasar dan pedagang ekspor utama

Indonesia adalah pengekspor udang terbesar keempat di dunia. Pada tahun 2018, Indonesia mengekspor 149.000 ton udang. AS dan Jepang merupakan pasar konsumen terbesar, yang menyumbang 87% dari seluruh ekspor ini. Pada tahun 2021, ekspor udang (termasuk hasil tangkapan liar) mencapai nilai lebih dari US$2,2 miliar bagi perekonomian Indonesia.

Ekspor udang Indonesia didominasi oleh segelintir perusahaan. Tiga perusahaan teratas – Bahari Makmur Sejati, First Marine Seafoods dan Panca Mitra Multiperdana – menyumbang lebih dari sepertiga ekspor pada tahun 2018.

Indonesia adalah rumah bagi kawasan hutan bakau terbesar yang tersisa di dunia. Hutan bakau berperan penting dalam keanekaragaman hayati, menyediakan habitat untuk pembibitan yang mendukung sektor perikanan, menyerap karbon, dan membantu melindungi masyarakat pesisir dari bencana badai. Antara tahun 2000 dan 2016, Indonesia kehilangan 3% dari hutan bakaunya, terutama akibat adanya tambak udang di daerah-daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera Barat. Meskipun persentase hilangnya hutan bakau telah berkurang, Indonesia masih mengalami ancaman dari ekspansi budidaya perairan (akuakultur).

Menghubungkan pasar ke daerah produksi

Metodologi yang dikembangkan Trase untuk memetakan rantai pasok udang di Indonesia merupakan versi awal 'beta'. Kami menggunakan informasi tentang produksi udang, fasilitas pengolahan, ekspor, dan kepemilikan untuk membuat model yang menghubungkan daerah produksi ke pasar konsumen melalui pengolah dan pedagang udang. Hal ini memungkinkan pasar dan pedagang konsumen terhubung dengan dampak sosial dan lingkungan. Dalam versi beta ini kami belum mengaitkan produksi udang dengan konversi hutan bakau dan dampak lingkungan dan sosial lainnya. Namun demikian, hasil pemodelan menunjukkan bahwa perusahaan mendapatkan komoditas udang yang bersumber dari daerah yang berbeda sehingga juga memiliki tingkat eksposur berbeda terhadap dampak lingkungan dan sosial seperti konversi hutan bakau.

Uraian metodologi terperinci tersedia di sini, dan Trase menyambut baik umpan balik demi perkembangannya di masa yang akan datang.

Untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang peta rantai pasok Trase untuk Indonesia, hubungi jonathan.green@york.ac.uk



Was this article useful?

We use cookies on our site.